Pada abad ke 21 ini, ada yang menarik tentang pergeseran nilai dalam gerakan dakwah sosial yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Bagaimana tidak, banyak oknum dari warga Muhammadiyah hari ini yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dan
kelompoknya saja daripada kepentingan umat. Ini terjadi hampir dimana saja tak terkecuali pada oknum pengurus Muhammadiyah yang terjadi di Desa penulis.
Pergeseran nilai gerakan dakwah sosial ini sangat mempengaruhi gerakan yang dulu menjadi ghiroh perjuangan K. H. Ahmad Dahlan dalam melakukan gerakan dakwah seperti yang terkandung dalam Q.S. Ali Imron(3) : 104 yang artinya ,” Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat di atas adalah dasar dari adanya organisasi Muhammadiyah. Ketika Yai Dahlan prihatin akan keadaan masyarakat yang ada di sekitarnya karena penindasan, kemiskinan, keterbelakangan dan pembodohan yang dilakukan oleh penjajah kolonialis Belanda. Maka, inilah yang menjadi spirit tersendiri bagaimana keprihatinan dengan sekitar adalah implementasi dari sebuah tauhid keTuhanan yaitu “La ilaha Ilallah”. Artinya ketika kita percaya akan adanya Allah sebagai Tuhan maka aktualisasi dari nilai ketuhanan adalah melakukan sebuah langkah yang kongkrit atas kejadian sosial yang ada.
Sebagaimana yang pernah digagas oleh pak Amin Rais dengan teorinya “TAUHID SOSIAL” yang mengejehwantakan tauhid dalam segala aspek kehidupan. Menurut beliau ,”Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat”. Implikasi yang diharapkan adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah pak Amien Rais, lihat Muzakki, 2004) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah. “Tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial. Dalam konteks sosial-politik, etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan individu, tetapi juga dalam ruang-ruang publik. (Amien Rais, 1997)”.
Dalam gagasan Kuntowijoyo dalam konsep TEOLOGI TRANSENDENTAL yang berpijak pada tiga elemen utama dari Surat Ali Imron ayat 110 yang artinya ,” Kamu (wahai umat Muhammad) adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (kerana) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman). Yakni: Humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), tidak hanya berada dalam konteks individual, melakukan kebaikan pada sesama. Ia harus ditransformasikan dalam konteks sosial budaya. Kuntowijoyo menafsirkannya sebagai emansipasi manusia kepada fitrah-nya: pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Inilah yang ia sebut sebagai humanisasi teosentris: kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai makhluk Allah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi yang menebar kebaikan dengan titik pijak keadilan.
Liberasi (tanhawna ‘anil munkar), juga tidak bisa hanya dimaknai dalam kerangka individual. Secara sosial, nahi munkar berarti pembebasan manusia atas penindasan dari manusia lainnya, pembebasan dari segala bentuk kegelapan (zhulumat), kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb. Juga pembebasan manusia atas kezaliman yang dilakukan oleh manusia lainnya. Artinya, konsep nahi munkar memiliki implikasi gerakan dan struktural. Spirit pembebasan ini banyak ditemui dari puisi-puisi Kuntowijoyo: “Karena kakiku masih di bumi|Hingga kejahatan terakhir dimusnahkan, Hingga para du’afa dan Mustada’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.
Transendensi (tu’minu billah), Adapun tu’minu billah berarti pengembalian segala sesuatu pada hakikatnya yang paling mendasar: tauhid. Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik menjadi penting. Gagasan tauhid tidak hanya berada pada level teologis, tetapi juga harus diterjemahkan melalui langkah-langkah sosial konkret.
Kalau Yai Dahlan memperkenalkan cara berpikir yang sederhana: mengamalkan perintah Allah dalam Al-Qur’an secara nyata. Dalam konteks ini, Kyai Dahlan mengajarkan murid-muridnya Surah Al-Ma’un secara berulang-ulang. Sudah barang tentu, murid-muridnya bertanya. . Kyai Dahlan kemudian mengajak murid-muridnya ke pasar dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari mereka, lantas pergi ke tempat orang-orang miskin dan memberikan barang-barang tersebut kepada mereka. Tak cukup sampai di situ, Kyai Dahlan juga mengajak murid-muridnya untuk memelihara anak-anak yatim yang miskin, sebagaimana dipesankan dalam surah Al-Ma’un tersebut.
Ada satu semangat dari sebuah cerita sederhana di atas yang dapat kita petik adlah Yai Dahlan Dahlan mengajak kita untuk mengejawantahkan ajaran tauhid dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuknya yang sangat praksis dan implementatif, yaitu pengamalan nyata. Gerakan ini biasanya disebut oleh Kuntowijoyo adalah Gerkan Sosial Muhammadiyah. (kuntowijoyo:2008)
Sabda Nabi Muhammad ,” Khoirunnas Anfa'uhum Linnas” artinya : sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain. Disini penulis mengajak kembali kepada gerakan yang kongkrit akan penting bersosial yang akan menghilangkan kepentingan pribadi dan kelompok menjadi kepentingan bersama (umat).
“HIDUP SEKALI TAK ADA ALASAN UNTUK TIDAK MELAKUKAN KEBAIKAN”
BILLAHI FI SABILIL HAQ, FASTABIQUL KHOIROT.
BY: HERMAN PURWANTO ( KETUM PC. IMM TUBAN)
0 komentar:
Posting Komentar